Bait Bait Luka (Part 1)
15.19Sejujurnya saya sudah terlalu terlatih ketika saya di hadapi tentang "Perpisahan" mengapa begitu?
Kau tau, sedari saya kecil, orangtua saya sudah berani dengan tega untuk meninggalkan atau melakukan perpisahan, tanpa mereka berfikir, bagaimana buah hati mereka?
Pada awalnya, saya benar-benar tidak perduli, bagamana saya ke depannya, bagaimana saya nantinya, saya, benar-benar menjadi pribadi yang enggan peduli, kenapa bisa sperti itu? Karna jika saya peduli, bukan jiwa saja yang sakit, hati saya akan ikut teramat sakit sangat sangat sakit.
Mungkin ini hanya tulisan, tapi ini sebuah bait kenyataan yang saya pikul sendirian, ya, sendiri.
Terkadang dengan cara memuji diri sendiri, mengatakan bahwa diri saya sangat kuat itu, salah satu cara mengapa saya bisa se tegar ini.
Jujur, ini tidak mudah buat saya, terkadang jika mempunyai waktu kosong, saya suka berpikir, saya itu lemah, saya itu tidak kuat, saya itu lelah, tapi, impian saya, ingin membuktikan saya mampu, saya bisa, dan tekat saya ingin menunjukan pada mereka, yang sewaktu-waktu menguatkan saya.
Ini lebih ke saya meluapkan beberapa yang saya pikul sendirian, merangkai dengan kata yang sedikit baku, dan mohon maaf bila menjadi tidak nyambung.
Detik ini, ketika saya menulis ini, ada beberapa bagian dari diri saya merasa sangat terluka, ketika saya mengingat Papa saya, mempunyai anak, mereka sudah menikah selama lima tahun, tapi baru tahun ini mereka mempunyai anak. Jujur, di sisi lain saya senang karna saya sangat amat menyukai anak kecil atau anak bayi, tapi di sisi lain saya sangat terluka ketika yang saya tau itu anak dari Bapak saya. Entah tidak ikhlas, atau mempunyai rasa apa. Tapi sejauh ini, saya sangat merasa sakit hati kalau di ceritainmah.
Saya selalu sadar dan berpikir, kenapa sih ga ikhlas atau nerimain aja? Toh udah takdir. Sumpah demi Allah, saya terkadang selalu mencoba, tapi lagi-lagi, tiba-tiba saya sangat merasakan terluka. Lebih lebih tersakiti, ketika di tinggalkan pacar, tapi kalau iya sih, double sakitnya hehehe. Saya suka mikir, enak kali, keluarganya jadi banyak, saya udah gak punya nenek, jadi punya lagi, saya punya adik lagi, tapi lagi lagi, ketika saya membuka, hati saya seperti diberi percikan garam ketika lukanya masih belum mengering.
Bertahun-tahun, hingga saya mampu membiayai saya sendiri, laki laki pertama yang menyakiti saya adalah Papa saya sendiri.
Pada awalnya, saya benar-benar tidak perduli, bagamana saya ke depannya, bagaimana saya nantinya, saya, benar-benar menjadi pribadi yang enggan peduli, kenapa bisa sperti itu? Karna jika saya peduli, bukan jiwa saja yang sakit, hati saya akan ikut teramat sakit sangat sangat sakit.
Mungkin ini hanya tulisan, tapi ini sebuah bait kenyataan yang saya pikul sendirian, ya, sendiri.
Terkadang dengan cara memuji diri sendiri, mengatakan bahwa diri saya sangat kuat itu, salah satu cara mengapa saya bisa se tegar ini.
Jujur, ini tidak mudah buat saya, terkadang jika mempunyai waktu kosong, saya suka berpikir, saya itu lemah, saya itu tidak kuat, saya itu lelah, tapi, impian saya, ingin membuktikan saya mampu, saya bisa, dan tekat saya ingin menunjukan pada mereka, yang sewaktu-waktu menguatkan saya.
Ini lebih ke saya meluapkan beberapa yang saya pikul sendirian, merangkai dengan kata yang sedikit baku, dan mohon maaf bila menjadi tidak nyambung.
Detik ini, ketika saya menulis ini, ada beberapa bagian dari diri saya merasa sangat terluka, ketika saya mengingat Papa saya, mempunyai anak, mereka sudah menikah selama lima tahun, tapi baru tahun ini mereka mempunyai anak. Jujur, di sisi lain saya senang karna saya sangat amat menyukai anak kecil atau anak bayi, tapi di sisi lain saya sangat terluka ketika yang saya tau itu anak dari Bapak saya. Entah tidak ikhlas, atau mempunyai rasa apa. Tapi sejauh ini, saya sangat merasa sakit hati kalau di ceritainmah.
Saya selalu sadar dan berpikir, kenapa sih ga ikhlas atau nerimain aja? Toh udah takdir. Sumpah demi Allah, saya terkadang selalu mencoba, tapi lagi-lagi, tiba-tiba saya sangat merasakan terluka. Lebih lebih tersakiti, ketika di tinggalkan pacar, tapi kalau iya sih, double sakitnya hehehe. Saya suka mikir, enak kali, keluarganya jadi banyak, saya udah gak punya nenek, jadi punya lagi, saya punya adik lagi, tapi lagi lagi, ketika saya membuka, hati saya seperti diberi percikan garam ketika lukanya masih belum mengering.
Bertahun-tahun, hingga saya mampu membiayai saya sendiri, laki laki pertama yang menyakiti saya adalah Papa saya sendiri.
0 komentar